Senin, 10 Oktober 2011

Makna Pohon Waja/Bila dalam hari raya Siwaratri

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

“Di antara berbagai Brata, mengunjungi tempat suci, memberi dana punya yang mahal seperti batu mulia (emas dan permata), melakukan berbagai jenis upacara Yajña, berbagai jenis tapa (pertapaan) dan melakukan berbagai kegiatan Japa (mengucapkan berulang-ulang nama-nama-Nya atau mantra untuk memuja keagungan-Nya), semuanya itu tidak ada yang melebih keutamaan brata Śivarātri . Demikian keutamaan Brata Śivarātri , hendaknya Brata ini selalu dilaksanakan oleh mereka yang menginginkan keselamatan dan keberutungan. Brata Śivarātri adalah Brata yang sangat mulia, agung yang dapat memberikan kesejahtraan dan kebahagiaan lahir dan bathin (Shastri, Śiva Purana, Koti Rudrasamhita, XL. 99-101,Vol.3, Part III, p. 1438).

Sejalan dengan pernyataan di atas, kakawin Śivarātri kalpa menyatakan keutamaan Brata Śivarātri seperti diwedarkan oleh Sang Hyang Śiva sebagai berikut :
“Setelah seseorang mampu melaksanakan Brata sebagai yang telah Aku ajarkan, kalahlah pahala dari semua upacara Yajña, melakukan tapa dan dana punya demikian pula menyucikan diri ke tempat-tempat suci (patìrthan), pada awal penjelmaan, walaupun seribu bahkan sejuta kali menikmati Pataka (pahala dosa dan papa), tetapi dengan pahala Brata Śivarātri ini, semua Pataka itu lenyap”.
“Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan melakukan Brata Śivarātri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Śivarātri) yang Aku sabdakan ini” ( Śivarātri kalpa, 37, 7-8).

Sejarah lahirnya hari raya Śivarātri dijelaskan melalui sumber-sumber sastra, baik yang bersumber kepada Veda Smrti pada bagian Upaveda (Itihasa dan Purana), juga sumber lokal (Nusantara), sumber Eropa dan Arab Kuno. Dari sumber-sumber itu maka konstruksi (bentuk) dan nilai Śivarātri menurut Veda jelas tergambar, yaitu merupakan vrata utama dan sempurna walaupun perwujudan pelaksanaannya tidak memerlukan sarana yang beraneka ragam dan sederhana.
Umumnya Siwaratri dilaksanakan dengan laku brata : Mona Brata (pengendalian dalam kata-kata). Mona brata sering diistilahkan dengan tidak mengucapkan kata-kata sepatahpun. Sehingga hal seperti ini bisa menimbulkan kesalah-pahaman. Karena jika seorang teman sedang bertandang kerumah dan menyapa atau bertanya, tapi yang ditanya tidak menyahut, akhirnya menyebabkan orang menjadi tersinggung. Karena dalam kasus ini melakukan tapa mona-brata, justru malah melakukan himsa karma, karena membuat orang lain menjadi jengkel dan sakti hati lantaran mereka tidak tau kita lagi monobrata. Kalaupun punya niat tapa brata semacam itu, sebaiknya pergi ke hutan atau ketempat yang sunyi, jauh dari keramaian. Nah itu pun jaman dulu kan begitu, nah sebanarnya kalau kita ambil inti sari dari Monobrata, bagaimana kita meminimalisasi ucapan yang negatif kepada orang lain, kurangi berbicara, perbanyak Asmaranam menyebutkan Nama-nama Hyang widhi ( Om Na, Ma, Ci, Wa, Ya ) dsb.
Upawasa yaitu pengendalian dalam hal makan dan minum. Jadi disini ditekankan tidak diharuskan untuk berpuasa atau tidak makan dan minum semalam suntuk. Melainkan pengendalian dalam hal makan dan minum. Umat dibebaskan untuk melaksanakan bratanya, mau puasa ya silahkan, tidakpun tidak apa-apa. Hanya saja brata itu berlaku untuk seterusnya. Konsep kekinian makan jangan sampai berlebihan, sedangkan disatu sisi banyak sekali kita melihat saudara kita barangkali bisa makan nasi satu kali sudah angayubagia, nah kalau demikian bagaimana kita melakukan yadnya kita dengan menyisihkan makan yang berlebihan itu kita sisihkan yadnyakan kepada saudara kita yang sangat membutuhkannya, atau dananya kita jadikan dana pendidikan.
Jagra yaitu pengendalian tidur atau dalam keadaan jaga semalam suntuk hingga menjelang pagi disertai melakukan pemujaan kepada Siwa sebagai pelebur kepapaan. Jadi pada malam Siwaratri itu yang terpenting adalah begadang demi dia (Siwa). Bukan begadang main gaple atau nonton TV. Tetapi konsep kekinian kita pergunakan berdiskusi, belajar tentang Tatwa, tentang tutur-tutur pinehayuan lan ke ahdiatmikaan, atau barangkali bedah Bhagawadgita atau Manawa dharmasastra, Sarasamuscaya, kekidung lan kekwain. Pada keesokan harinya melaksanakan Darma Santhi, pergi saling menungjungi kerumah sahabat, handai toland sambil bermaaf-maafan.


PEMBAHASAN
2.1 Ceritra Lubdhaka dalam Siwaratri.

Seorang pemburu bernama Lubdhaka, setiap hari mengelilingi hutan dan gunung. Hidupnya tidak pernah susah. Ia selalu bersenang-senang dengan anak dan istrinya. Sejak kecil ia tidak pernah berbuat kebenaran, kebajikan, perbuatannya hanya membunuh binatang seperti rusa, badak dan gajah. Itulah yang dilakukan setiap hari sebagai satu-satunya mata pencaharian yang dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.
Pada hari keempat belas bulan ketujuh (panglong ping pat belas ke pitu), Lubdhaka berburu seorang diri kedalam hutan memakai bajuhitam kebiruan . Perjalannya ke dalam hutan menuju timur laut, ketika itu hujan gerimis, Ia melewati Pura besar (dharma agung) yang keadaanya sudah rusak, namun dewanya tetap kokoh berstahana di dalam relung pelangkiran. Oleh karena kekuatan keutamaan dari malam Siwa (siwaratri), keadaan hutan menjadi sepi. Keadaan ini membuat Lubdhaka berjalan sampai jauh ketengah hutan.
Karena merasa penasaran, Lubdhaka terus menelusuri hutan selama satu hari berputar-putar mengelilingi lereng gunung. Setelah sore ia sampai di sebuah ranu besar yang didalamnya terdapat Siwalinggga (tidak ada yang membuat ), Perjalanan berputar-putar membuat Lubdhaka lesu, payah,haus,lapar. Karena itu, ia beristirahat dan minum air serta mencuci muka sambil menunggu binatang yang mungkin datang minum air.
Namun harapan itu sia-sia, karena sampai malam tidak ada binatang yang datang minum air. Akhirnya ia memutuskan untuk menginap di seputar ranu itu. Untuk menghindari bahaya (dari sergapan binatang), ia memanjat pohon bilva dan menaungi ranu dan membawa busur serta anak panahnya. Setelah larut malam ia tidak bisa menahan kantuknya. Agar tidak tertidur, ia memetik daun pohon maja (bila) itu satu persatu sampai fajar. Tanpa disengaja daun-daun yang dipetiknya jatuh di dalam ranu dan semua kandas mengenai Siwalingga. Dewa Siva yang sedang beryoga disitu sangat senang memperhatikan ketekunan lubdhaka menyertai yoganya.
Keesokan harinya, setelah pagi, keadaan di sekitar , mulai terang disinari matahari. Ia berkemas-kemas pulang, setibanya dirumah dijemput oleh istri dan anak-anaknya dengan rasa gembira. Setelah diceritrakan perjalanannya tidak mendapat buruan, suasana berubah menjadi sedih karena mereka sedang lapar. Mungkin istri dan Lubdhaka juga tidak tidur semalam karena menanti kedatangan ayah atau suami yang tidak kunjung pulang.
Beberapa tahun kemudian, Lubdhaka jatuh sakit dan kematian tidak dapat dielakan. Atmanya melayang-layang di angkasa. Dalam keadaan demikian, Dewa Siva segera memerintahkan abdinya (para gana) untuk menjemputnya agar dibawa ke Siwaloka. Tindakan itu dilakukan Dewa Siva karena beliau masih ingat dengan perbuatan lubdhaka yang sangat terpuji, yaitu melakukan brata Siwaratri pada panglong ping pat belas sasih kepitu pada zaman kreta dahulu semasih hidupnya.
Walaupun hal itu tidak sengaja dilakukannya, karena brata itu yang utama, dapat membersihkan segala dosa. Berapapun banyaknya berbuat kejahatan akan dilebur oleh keutamaan brata itu. Oleh karena itu, sudah sepantasnya Lubdhaka untuk menikmati kebahagiaan di Siwaloka.

2.2 Makna Spiritual Pohon Bila
Maja (Aegle marmelos (L.) Correa, suku jeruk-jerukan atau Rutaceae) adalah tumbuhan berbentuk pohon yang tahan lingkungan keras tetapi mudah luruh daunnya dan berasal dari daerah Asia tropika dan subtropika. Tanaman ini biasanya dibudidayakan di pekarangan tanpa perawatan dan dipanen buahnya. Maja masih berkerabat dekat dengan kawista. Di Bali dikenal sebagai bila. Di Pulau Jawa, maja sering kali dipertukarkan dengan berenuk, meskipun keduanya adalah jenis yang berbeda.
Tanaman ini mampu tumbuh dalam kondisi lingkungan yang keras, seperti suhu yang ekstrem; misalnya dari 49°C pada musim kemarau hingga -7 °C pada musim dingin di Punjab (India), pada ketinggian tempat mencapai +1.200m. Di Asia Tenggara, maja hanya dapat berbunga dan berbuah dengan baik jika ada musim kering yang kentara, dan tidak biasa dijumpai pada elevasi di atas 500 m. Maja mampu beradaptasi di lahan berawa, di tanah kering, dan toleran terhadap tanah yang agak basa (salin).
Warna kulit luar buah maja berwarna hijau tetapi isinya berwarna kuning atau jingga. Aroma buahnya harum dan cairannya manis, bertentangan dengan anggapan orang bahwa rasa buah maja adalah pahit. Sebagaimana jeruk, buah maja dapat diolah menjadi serbat, selai, sirop, atau nektar. Kulitnya dibuat marmalade.
Tanaman Bilva (ficus religious) adalah tanaman suci, mempunyai akar keatas (spirit) dan akar kebawah (duniawi), merupakan tanaman aswatha (bhagavadgita), dimana setiap lembarnya merupakan symbol-simbol sloka-sloka suci weda (suryadharma dkk, 2004).
Tanaman bilva menyimpan zat asam (oksigen / neeter, dimana di dalam atharwa veda VI.95.1. disebutkan bahwa :
Asvattho devasadanah.
Artinya :
Tanaman bilva (ficus religiousa linn) dinamakan tempat kediamannya para dewa sebab ia selalu memancarkan oksigen (nettar).
Kemudian dipertegas lagi dalam Sama veda 1.824 bahwa :
Tam it samanam vamna caviruddho antarvantis ca sarvate ca vivaha.
Artinya :
Tanam-tanaman dan tumbuhhan memancarkan udara vital yang dinamakan samana (oksigen) secara teratur.
Di Bali daun bilva dipergunakan sebagai sarana pemujaan yang paling utama pada hari siwaratri, yang tertuang dalam Siwaratri klapa. ( Titib, 2001, Agastia, 1997).
Di dalam ceritra Lubdaka dikatakan, naik ketas pohon bilva ( irika tikang nisada memenek pang ing maja ). Kata bila dapat berubah menjadi wira yang berarti perwira, teguh hati, tekun. Dengan analisis itu maka pohon bilva mengandung simbolik yang menggambarkan bahwa ia adalah bertumpu pada atau ketekunan (Rai Sudharta, 1994).
Lubdaka adalah seorang pemburu, kerjaanya adalah membunuh yang disebut himsa karma. Sedangkan dalam ajaran Hindu dilarang membunuh, menyakiti yang disebut ahimsa karma. Sebenarnya ceritra lubdaka dibangun berdasarkan faham dwaita “dualis”. Dimana menurut Bethara Siwa , Lubdaka adalah orang yang telah melaksanakan dharma yang utama, karena setia menjalankan brata siwaratri yakni, upawasa, monabrata dan jagra. Ini adalah pemujaan kepada Siwa dengan tepat. Sedangkan menurut Bethara Yama, Sang Giriputri belum tahu tentang brata Siwaratri ini penuh berkah. Namun Betara Yama menilai Lubdaka adalah si pembunuh maka ia harus mendapat siksa neraka.
Penilaian keduanya ini berdasarkan wisaya karma, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan panca indra atau perbuatan mengikat, ini yang menurut betara yama. Sedangkan menurut Sreyo karma, perbuatan yang membebaskan,walaupun perbuatan itu dilakukan dan berhubungan dengan panca indra, bila itu dilakukan dengan tidak mengharapkan hasil maka ia akan menang atas perasaan keakuan, kepemilikan, ketamakan hawa nafsu. Maka ia akan menjadi suci dan dikasihi Tuhan. ( narayana, 1991-2) Ini adalah penilaian Betara Siwa.
Selanjutnya dikatakan Lubdaka memetik daun bilva menjatuhkan kedalam danau. Artinya dia takut terjatuh maka tidak boleh mengantuk. Simbolis disini dia takut jatuh, yaitu mengalami reinkarnasi dimana reinkarnasi itu adalah kehidupan yang terjadi dari kejatuhan dari sorga atau neraka. Untuk itulah agar tidak jatuh manusia mestinya berintrospeksi diri. Ibarat bayangan bulan di tempayan setiap bayangan itu akan menampakan diri kita secara keseluruhan. Maka ranu, kolam yang ada dibawah dengan lingga disimbolkan cermin untuk melihat bayangan kita sedangkan lingga adalah atma kita .
Kata Rwan atau ron, don, berarti daun dan dapat juga berarti tujuan. Jika dirangkai dengan kata maja atau bilwa maka melambangkan tujuan. Yakni mengembangkan kesadaran. Dengan demikian dapat diartikan dimana sang pertapa selalu memetik sari ajaran untuk mengembangkan kesadaran. Dalam hubungan jagrabrata olah kesadaran dengan mempelajari siwa tattwa ( ajaran hakekat ketuhanan) sampai akhirnya mencapai pencerahan rohani. Jadi Mpu tanakung disini menuliskan dengan simbolis yaitu olah budi dan rasa terpusat kepada Tuhan.Untuk itu disebutkan oleh Mpu tanakung ,mahaprabhawa nikanang brata panglimur kadusta kuhaka, setata turun mapunya yasa dharma len brata gatinya kasmala dahat. Artinya brata siwararti adalah mampu meruwat sifat dusta dan keji. Cara meruwat itu adalah dengan melakukan dyana (meditasi), menyanyikan syair pujian, merafal mantra, melakukan japa (menyebut nama Tuhan berkali-kali).
Memetik-metik daun bilva dalam pustaka siwaratribrata ( sudarta, 1994) sebanyak 108 adalah simbolik dari menghitung kesalahan yang telah diperbuat. angka 108 dijumlahkan menjadi 9 yakni angka tertinggi, simbolik dari Lubdaka melakukan perbuatan dengan keteguhan hati, ketekunan memuja siwa adalah mencapai puncaknya ( rai sudharta, 1994).
Atas dasar analisis itulah maka cerita Lubdaka adalah simbolik seorang yogi dalam menekuni Yoga. Dengan brata siwaratri di malam ke ping 14 brata itu mencapai puncaknya. Seperti disebutkan dalam Wrhaspati kalpa, bahwa “ bagi mereka yang telah mencapai Samadhi, segala papa nerakanya terbakar, dibakar oleh panasnya api gaib (bhanimaya) sebagai akibat dari matangnya yoga. Oleh sebab itu papa neraka adalah akibat dari pahala atau dosa, maka hal itu juga berarti terleburnya dosa ayang telah diperbuat.
Jika dalam hidup tidak pernah melakukan brata siwaratri maka dalam hidup ini tidak akan punya arti. Seperti dikatakan dalam Arjuna Wiwaha disebutkan bahwa :
“Seseorang yang tidak pernah melakukan brata, tapa, yoga semadi akan berharap, memaksa supaya memperoleh kesukaan dari Hyang Widhi akan dibalikan halnya dan ditimpa kesedihan, disakiti oleh rajah dan tamah.”



PENUTUP
3.1 Simpulan


Hari Suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani. Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.
Tanaman bilva adalah tanaman suci yang mempunyai akar keatas (spirit) dan akar kebawah (duniawai) merupakan tanaman aswatha (bhagavadgita), dimana setiap helainya adalah symbol-simbol sloka. Tanaman ini adalah tempat kediaman Dewa, sebab itu ia memancarkan sinar / oksigen.
Daun bilva adalah merupakan sarana aturan yang paling mulia dalam siwaratri kalpa. Pohon bilva dinaiki dan memetik daunya sebanyak 108 adalah simbolik dari seorang yogi yang tekun memuja siwa sebagai manifestasi yang paling utama, walau bhaktinya tidak sengaja.

DAFTAR PUSTAKA:

Agastia, IBG. 1997. Memahami Makna Siwaratri, Yayasan Dharma Sastra, Denpasar.
Chaturvedi, B.K., 2002. ŚIVA, terjemahan Oka Sanjaya, editor I Wayan Maswinara, Paramita.
Agastia, IBG. 2003. SIWA SMRTI, Yayasan Dharma Sastra, Denpasar.
Śivananda, Sri Svami. 2002. Hari Raya & Puasa dalam Agama Hindu, terjemahan Dewi Paramita, editor I Wayan Maswinara, Paramita, Surabaya.
Agastia, IBG. 2001. SIWARATRI KALPA, terjemahan, Yayasan Dharma Sastra, Denpasar.
Sudharta, Tjok. Rai. 1994. SIWARATRI, Makna dan Upacara, Upada Sastra, Denpasar.
Titib, I Made. 1996. Veda Sabda Suci, Pedoman Praktis Kehidupan, Paramita, Surabaya.
Anandamurti, Shrii Shrii. 1991. Yama – Niyama, Sebagai Dasar Moralitas Kehidupan Spiritual, terjemahan I Ketut Nila. Persatuan Ananda Marga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar