Rabu, 16 Oktober 2013

Tri Hita Karana

Pengaplikasian Tri Hita Karana (Pelemahan)
Dalam Perayaan Tumpek Wariga di Bali


Agama Hindu memiliki begitu banyak hari raya yang dibedakan berdasarkan perhitungan Pawukon, Wewaran dan Sasih. Dalam perhitungan pawukon hari raya agama Hindu dimulai dari Wuku Sinta sampai dengan Wuku Watugunung dengan jumlah wuku sebanyak 30 wuku yaitu beberapa diantaranya adalah Hari Raya Galungan, Hari Raya Kuningan, Hari Raya Tumpek Wariga, Hari Raya Saraswati.
Dalam perhitungan wewaran, hari raya di bagi atas Anggara Kliwon, Buda Wage (Buda Cemeng), Buda Kliwon, dan Saniscara Kliwon (tumpek). Berdasarkan perhitungan sasih ada beberapa hari raya seperti Purnama, Tilem, Nyepi dan Siwaratri. Bila kita perhatikan setiap hari raya umat Hindu memiliki makna-makna tersendiri dan juga memiliki keterkaitan dengan konsep Tri Hita Karana, yang melandasi adanya hubungan yang harmonis antara Manusia dengan Sang Pencipta (Ida Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa) yang disebut dengan Parhyangan, antara manusia dengan manusia atau lebih dikenal dengan Pawongan dan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam sekitar baik itu hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain sebagainya disebut dengan Palemahan.
Dalam Bhagawadgita (III.10) disebutkan :
Sahayajnah prajah srstva
Purovaca prajapatih
Anena prasavisyadhvam
Esa vo ‘stv ista-kama-dhuk
Artinya :
Pada awal ciptaan, penguasa semua mahluk (prajapatih) mengirim generasi-generasi manusia dan dewa, beserta korban-korban suci Wisnu dan memberkahi mereka dengan bersabda : berbahagialah engkau dengan yajna (korban suci) ini sebab pelaksanaannya akan menganugrahkan segala sesuatu yang dapat diinginkan untuk hidup secara bahagia dan mencapai kebebasan.
Dengan demikian konsep Tri Hita Karana yang tertuang dalam kitab Bhagawadgita III. 10 dinyatakan yadnya-lah yang menjadi dasar hubungan Tuhan Hyang Maha Esa (Praja Niti), manusia (Preja) dan alam (Kamadhuk) karena dengan yadnyalah Ida Sang Hyang Widhi menciptakan semua hal tersebut. Yadnya artinya suatu karya yang dilakukan berdasarkan ketulus iklashan. Manusia akan dapat mencapai kebahagiaan hidup apabila mampu melakukan hubungan yang harmonis berdasarkan yadnya, yaitu korban suci kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam wujud bhakti (tulus), kepada sesama manusia dan alam dalam wujud pelestarian alam dengan penuh kasih.
Jadinya secara harpiah Tri Hita Karana adalah “Tiga penyebab timbulnya kebahagiaan”. Kalau dirumuskan berdasarkan konsep filosofisnya dalam Bhagawadgita III. 10, Tri Hita Karana itu adalah “membangun kebahagiaan dengan mewujudkan sikap hidup yang seimbang antara berbhakti kepada Tuhan, mengabdi kepada sesama umat manusia dan menyayangi alam berdasarkan Yadnya”.
Secara mendalam hubungan antara manusia dengan alam sekitar dapat diwujudkan dengan perayaan hari raya suci (rerainan) seperti Tumpek Kadang (Tumpek Uye) dan Tumpek Wariga. Tumpek Kandang (Tumpek Uye) yang dikhususkan untuk binatang-binatang dan Tumpek Wariga merupakan hari penghormatan terhadap tumbuh-tumbuhan yang dapat digunakan sebagai persembahan atau upakara dalam suatu upacara (yadnya).
Hari Raya Tumpek Wariga tepatnya jatuh pada Saniscara Kliwon Wuku Wariga yang juga disebut dengan tumpek pengarah, tumpek bubuh, tumpek pengatag, atau tumpek uduh. Tumpek ini jatuh 25 hari sebelum Hari Raya Galungan ini mempunyai makna memohon keselamatan pada Dewa Sangkara yaitu manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai dewa tumbuh-tumbuhan.
Adapun makna dari Tumpek Wariga ini adalah memohon kepada Sang Hyang Sangkara sebagai Dewa tumbuh-tumbuhan agar tumbuhan yang bermanfaat dan menunjang bagi kehidupan manusia seperti pohon buah-buahan, kelapa, pohon yang berbunga dan sebagainya dapat hidup dengan subur sehingga buah atau bunganya dapat dimanfaatkan atau digunakan pada saat hari raya Galungan. Karenanya, ucapan syukur dan penghormatan kepada Hyang Sangkara mesti dilakukan manusia dengan mengasihi segala jenis tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian, sejatinya perayaan hari tumpek pengatag memberikan isyarat dan makna mendalam agar manusia mengasihi dan menyayangi alam dan lingkungan yang telah berjasa menopang hidup dan manusia.
Begitu besarnya peranan tumbuh-tumbuhan dalam memberi hidup umat manusia hampir seluruh kebutuhan hidup umat manusia bersumber dari tumbuh-tumbuhan mulai dari pangan, sandang hingga papan. Karena itu pula, tradisi perayaan tumpek pengatag tidaklah keliru jika disepadankan sebagai peringatan Hari Bumi gaya Bali dan kini bisa direaktualisasi sebagai hari untuk menanam pohon. Tumpek Pengatag merupakan momentum untuk merenungi jasa dan budi Ibu Bumi kepada umat manusia. Selanjutnya, dengan kesadaran diri menimbang-nimbang perilaku tidak bersahabat dengan alam yang selama ini dilakukan dan memulai hari baru untuk tidak lagi merusak lingkungan.
Para tetua bali di masa lalu telah memiliki visi futuristik untuk menjaga agar Bali tak meradang menjadi tanah gersang dan kerontang akibat dari alam lingkungan yang tak terjaga. Bahkan visi dari segala tradisi itu bukan semata menjaga kelestarian alam dan lingkungan Bali, tetapi juga menjaga kelestarian alam dan lingkungan seluruh dunia. Istimewanya, segala kearifan itu muncul jauh sebelum manusia modern saat ini melakukan upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan, menetapkan hari Bumi, dan menetapkan Desember sebagai bulan menanam pohon. Hanya memang, perayaan tumpek pengatag sebagai Hari Bumi gaya Bali menghadirkan ironi tersendiri yang mana berbagai bentuk, ritual dan tradisi itu berhenti pada wujud fisik upacara semata, dampak keterjagaan terhadap lingkungan Bali tak tampak secara signifikan.
Kenyataannya, alam Bali tiada henti tereksploitasi. Situasi serba paradoks ini sesungguhnya lebih dikarenakan pemaknaan yang tidak total atau tanggung terhadap ritual-ritual yang ada. Ritual-ritual itu sesungguhnya hanya alat, sebatas wadah untuk mengingatkan, yang mesti diikuti dengan laku nyata. Karenanya, yang mesti dilakukan saat ini adalah upaya untuk memaknai ritual-ritual itu secara lebih kontekstual dan total sekaligus menyegarkannya dalam tataran laku tradisi. Maka dari itu tumpek pengatag seharusnya tak semata diisi dengan menghaturkan banten pengatag kepada pepohonan tapi juga diwujudnyatakan dengan menanam pepohonan, serta menghentikan tindakan merusak alam lingkungan. Dengan begitu, tumpek pengatag yang memang dilandasi kesadaran pikir visioner menjadi sebuah perayaan Hari Bumi yang paripurna. Bahkan, Bali lebih berbangga karena peringatan Hari Bumi-nya dilakoni secara nyata dan indah menawan karena diselimuti tradisi kultural yang bermakna kental. Bahkan, Bali tak perlu lagi dibuatkan tradisi baru : Hari atau Bulan Menanam.
Dalam Lontar Sundarigama disebutkan tumpek pengarah bertujan agar semua tumbuh-tumbuhan yang dapat dipakai sebagai sarana upakara dapat berdaun, berbunga, dan berbuah yang lebat untuk membantu kehidupan manusia. Dengan adanya saling hormat menghormati antara manusia dan tumbuh-tumbuhan maka bencana alam yang tidak dikehendaki dapat ditanggulangi seperti banjir, tanah longsor, dan juga kekeringan.
Tumpek Wariga juga disebut Tumpek Pengarah karena pada hari ini umat Hindu mapengarah (memberi tahu) kepada tumbuh-tumbuhan dengan kalimat “ kaki kaki, dadong jumah? Tiang mapengarah buin selae dina Galungan mangda jerone nged mabuah “. Hal itu supaya segenap tumbuh-tumbuhan agar memberi buah atau bunga yang lebat sehingga bisa digunakan sebagai sarana upakara pada saat hari raya Galungan. Setelah dilakukan pengarah dilanjutkan dengan Pangatag yaitu menetakkan atau menggoreskan pisau pada tumbuhan yang diberikan pengarah dengan kata “nged…nged…nged” (lebat). Pada bekas goresan tadi diberi bubuh (bubur) sebagai makanan pohon. Tumpek Wariga juga disebut Tumpek uduh adalah karena adanya permintaan dari manusia (panguduh) kepada tumbuh-tumbuhan agar memberikan hasil yang baik. Dalam melaksanakan pengarah apabila dalam perkebunan banyak pohon namun sejenis pengarah dapat dilakukan pada satu pohon sebagai perwakilan sedangkan yang lainnya cukup diperciki dengan tirtha.
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar