Rabu, 16 Oktober 2013

PERJALANAN DANGHYANG NIRARTHA


Pada akhir abad ke – 15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang – orang Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih meninggalkan Majapahit.

Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti : Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.

Salah seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga).

Terlepas dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Untuk itu, dibuatkanlah pelinggih khusus yakni Padmasana, dari sinilah Sadasiwa atau Tuhan Yang Maha Esa,Yang Maha Kuasa, Yang Maha Ada, yang bersifat absolut, dan dipuja oleh semuanya. Oleh karena itu, setiap pura harus memiliki pelinggih Padmasana. Dengan demikian Danghyang Nirartha menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali. Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa perjalanan Nirartha, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah dengan adanya kuil padmasana.

Pada waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Nirartha banyak mendirikan Pura – Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain. Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang nirartha juga melakukan dharmayatra ke Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di Bali Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.

Di Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra : Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran.

Ada dua Bhisama dari danghyang nirarta kepada seluruh keturunannya, yaitu;
1.    Seluruh keturunannya tidak diperkenankan menyembah pratima (arca – arca  perwujudan).
2.    Seluruh keturunanya tidak diperkenankan sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.

Dalam hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana. Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang nirarta melarang semua keturunanya menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Nirarhta mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.

Akhirnya setelah mendiksa semua putra-putranya menjadi pedanda, lalu Danghyang Nirartha menuju Pura Luhur Uluwatu dan mencapai moksa di sana.
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura  di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar