Pada
akhir abad ke – 15, kerajaan Majapahit mengalami keruntuhan. Selain disebabkan
karena faktor dari dalam, yaitu perang saudara (Perang Paregreg) untuk menjadi
penguasa di Majapahit, faktor dari luar juga menjadi penyebab keruntuhan salah
satu kerajaan Hindu terbesar ini, yakni serangan dari Kerajaan Demak yang
beragama Islam. Akibat dari hal tersebut, agama Hindu akhirnya surut oleh
pengaruh agama Islam, dimana penduduk di Majapahit dan sekitarnya serta pulau
Jawa pada umumnya akhirnya beralih keyakinan ke Agama Islam. Orang – orang
Majapahit yang tidak mau beralih agama dari Hindu ke Islam akhirnya memilih
meninggalkan Majapahit.
Mereka memilih tinggal di daerah Pasuruan, Blambangan, Banyuwangi, dimana sebagian besar masyarakatnya masih memeluk agama Hindu. Selain itu beberapa diantara mereka bahkan menetap di daerah pegunungan, seperti : Pegunungan Tengger, Bromo, Kelud, Gunung Raung (Semeru). Sedangkan beberapa dari mereka yang masih tergolong arya dan para rohaniawan memilih untuk pergi ke Bali, hal itu disebabkan karena saat itu di Bali pengaruh Agama Hindu masih sangat kuat. Oleh karena itu mereka mencari perlindungan di Bali, selain untuk melarikan diri dari Majapahit dan pengaruh Islam di Jawa.
Salah
seorang dari rohaniawan tersebut adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang
Dwijendra. Danghyang Nirartha datang ke Bali pada tahun 1489 M, pada masa
pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Danghyang Nirartha datang ke Bali
dalam rangka dharmayatra, akan tetapi dharmayatranya tidak akan pernah kembali
lagi ke Jawa. Karena di Jawa (Majapahit) Agama Hindu sudah terdesak oleh Agama
Islam. Namun kendatipun demikian, ternyata Danghyang Nirartha juga mempelajari
agama Islam, bahkan Beliau menguasai Agama Islam, tetapi keislamannya tidak
sempurna. Ini terbukti dari pengikut – pengikutnya, yaitu orang – orang Sasak
di Pulau Lombok yang mempelajari Islam dengan sebutan Islam Telu (Islam Tiga).
Terlepas
dari hal tersebut, Danghyang Nirartha adalah penganut Agama Hindu yang
sempurna. Seperti para leluhurnya, Danghyang Nirartha memeluk Agama Siwa, yang
lebih condong ke Tantrayana. Agama Siwa yang diajarkan oleh Danghyang Nirartha
adalah Siwa Sidhanta, dengan menempatkan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa,
Sadasiwa, dan Siwa. Dari tiga aspek ini Sadasiwalah yang diagungkannya. Untuk
itu, dibuatkanlah pelinggih khusus yakni Padmasana, dari sinilah Sadasiwa atau
Tuhan Yang Maha Esa,Yang Maha Kuasa, Yang Maha Ada, yang bersifat absolut, dan
dipuja oleh semuanya. Oleh karena itu, setiap pura harus memiliki pelinggih Padmasana.
Dengan demikian Danghyang Nirartha menjadi pembaharu Agama Hindu di Bali.
Nirartha merupakan pencipta arsitektur padmasana untuk kuil Hindu
di Bali. Kuil-kuil ini dianggap oleh para pengikut sebagai penjelmaan dari Shiva yang agung. Semasa
perjalanan Nirartha, jumlah kuil-kuil di pesisir pantai di Bali bertambah
dengan adanya kuil padmasana.
Pada
waktu melakukan Dharmayatra ke Bali dari Daha, Jawa Timur. Danghyang Nirartha
banyak mendirikan Pura – Pura terutama di daerah selatan pulau Bali, seperti
Pura Rambut siwi, Pura Melanting, Pura Er Jeruk, Pura Petitenget dan lain-lain.
Pura-pura yang didirikan oleh Danghyang Nirartha ini dikenal dengan Pura Dang
Kahyangan. Selain di Bali, Danghyang nirartha juga melakukan dharmayatra ke
Lombok dan Sumbawa. Bahkan di Sumbawa Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan
Tuan Semeru. Sedangkan di Lombok dikenal dengan sebutan Haji Duta Semu, dan di
Bali Danghyang Nirartha dikenal dengan sebutan Pedanda Sakti Wawu Rawuh.
Di
Bali, Danghyang Nirartha menetap di Desa Mas. Dari sinipun Danghyang Nirartha
menikahi anak bendesa Mas. Dari pernikahan in Danghyang Nirartha memiliki putra
: Ida Timbul, Ida Alngkajeng, Ida Penarukan, dan Ida Sigaran.
Ada dua Bhisama dari danghyang nirarta kepada seluruh
keturunannya, yaitu;
1. Seluruh keturunannya tidak diperkenankan
menyembah pratima (arca – arca perwujudan).
2. Seluruh keturunanya tidak diperkenankan
sembahyang di Pura yang tidak memakai atau tidak ada pelinggih Padmasana.
Dalam
hal keyakinan (Agama Hindu) dapat dilihat peninggalannya berupa padmasana.
Walaupun dalam Bhisamanya Danghyang nirarta melarang semua keturunanya
menyembah pratima (arca – arca perwujudan), namun Danghyang Nirarhta
mengagungkan Sadasiwa, sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa, yang Maha
Segalanya dan hampir di semua pura di Bali saat ini terdapat pelinggih
padmasana untuk mengagungkan Tuhan Yang Maha Esa.
Akhirnya
setelah mendiksa semua putra-putranya menjadi pedanda, lalu Danghyang Nirartha
menuju Pura Luhur Uluwatu dan mencapai moksa di sana.
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan.
Hingga saat ini, peninggalan Danghyang Nirartha masih daat di lihat, seperti pura – pura di Bali yang dikenal dengan nama Pura Dang Kahyangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar